motivasi

Bagaikan pohon yang bercabang dan semakin berakar kuat, sejarah juga memiliki akar yang kokoh dan bercabang untuk memberikan ilmu di masa depan

Minggu, 04 November 2012

Exorbitante Rechten


Dasar hukum rezim pemerintah kolonial Belanda waktu itu membuang para pemberontak 1926 ke Digoel (rimba terpencil di Papua) dimana ada hak istimewa dari gubenur jenderal yang namanya Exorbitante Rechten. Siapa saja yang ditunjuk oleh gubernur jenderal sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, atau rust en orde, dari pemerintah Hindia Belanda, tidak boleh tinggal di Hindia Belanda atau ditunjukkan tempat di mana dia harus tinggal. Itu dasar hukumnya Digoel didirikan.
Sebelum Pemberontakan 1926 sudah ada beberapa tokoh yang dibuang. Samin Sorontiko, misalnya, dibuang ke Sumatera Barat tahun 1907. Lalu dr Tjipto, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dibuang ke Belanda tahun 1913. Haji Misbach dibuang ke Manokwari tahun 1924, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain juga dibuang pada awal tahun 1920-an. Setelah pemberontakan 1926 itu ada begitu banyak orang yang dibuang ke suatu tempat yang sama. Dan ide membuang itu keluarnya begitu cepat. Pemberontakan terjadi 12 November, tanggal 18 November sidang pertama Dewan Hindia, tanggal 19 November sidang kedua. Saat itu diputuskan untuk membuat kamp Digoel. Dengan begitu hanya seminggu setelah pemberontakan sudah diputuskan untuk membuat kamp Digoel.
Ide itu muncul dan dengan proses yang begitu cepat, patut untuk memperhetikan beberapa hal penting. Pertama, idenya sudah ada sebelum pemberontakan. Ide ini pertama kali diungkapkan Schrieke. Daialah yang megusulkan supaya ada tempat khusus didirikan sebagai tempat pembuangan.  Karena orang-orang macam ini, terutama orang komunis waktu itu, mereka kerjanya keluar masuk penjara. Kalau melanggar hukum mereka ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara selama satu atau satu setengah tahun, lalu dimasukkan lagi ke penjara.
Menurut Schrieke ini kasihan. Lebih baik ditunjukkan tempat di mana mereka bisa mendapat kehidupan yang tentram, tidak diganggu oleh mimpi-mimpi untuk merdeka atau untuk mendirikan masyarakat komunis. Jadi, ide itu sudah ada pada tahun 1925, tapi tetap dipertahankan sebagai ide saja. Sekonyong-konyong, waktu pemberontakan terjadi, ide itu dijalankan.
Dalam konteks yang lebih besar, perlu diperhatikan satu fakta bahwa Belanda adalah kekuatan kolonial yang minor. Bukan yang nomor satu,  tetapi nomor tiga, setelah Inggris dan Perancis. Koloni yang mereka punya dan berarti, adalah Hindia Belanda. Lain dari Inggris. Karena Inggris punya koloni di Afrika, Australia, India, dan di banyak tempat lagi. Kalau umpamanya ada orang di Birma yang jadi nakal dan harus dibuang, mereka bisa ditempatkan umpamanya ke Sri Lanka atau ke Afrika. Tapi karena di Hindia Belanda tidak ada tempat lain, kemana orang-orang macam ini bisa dibuang. Jadi, pejabat tinggi Hindia Belanda pada tahun 1926 menyimpulkan bahwa lebih baik mendirikan satu tempat di Hindia-Belanda, dimana lebih dari seribu orang bisa dibuang.
Masyarakat Belanda ketika itu begitu paranoid, begitu takut terhadap gerakan apapun di bumiputera. Jadi pemerintah kolonial tidak perlu menjual ide itu atau ide Digoel ini kepada masyarakat Hindia-Belanda maupun kepada masyarakat Belanda sendiri. Orang kulit putih senang sekali kalau orang komunis, nasionalis, dan lain-lain, semua dibuang atau dibunuh. Selain itu Gubernur Jenderal de Graff waktu itu masih percaya dengan  kemumngkinan untuk  membangun Nuigini sebagai koloni yang baru. Karena waktu itu Nuigini atau Irian Barat memang belum dibangun sama sekali. De graff percaya aka nada kesempatan untuk mendirikan suatu koloni yang baru, yang makmur dan tentram untuk orang-orang komunis, dan sekaligus juga akan menjadi koloni yang baik untuk Hindia Belanda.
Ada begitu banyak pulau lain di Hindia Belanda, dan pada waktu itu begitu banyak daerah yang belum dibuka untuk koloni baru. Ternyata Digoel yang dipilih. Yang paling pentinh diperhatikan adalah tempat pembuangan itu harus terisolasi 100 persen. Dan orang yang diutus mencari tempat pembuangan yang baru itu adalah Gubernur Maluku. Karena Nuigini juga termasuk Provinsi Maluku, orang ini mngusulkan Boven Digoel yang paling baik. Atas usulan dari Gubernur Maluku itu, Dewan Hindia lalu menentukan Boven Digoel sebagai tempat pembuangan.
Ada memang tempat-tempat lain. Tapi menurut Gubernur Provinsi Maluku, Boven Digoel itu ideal sebagai tempat pembuangan karena 100 persen terisolasi. Jaraknya dari muara Sungai Digoel itu 455 kilometer ke arah hulu, ke pedalaman. Itu sama dengan jarak Jakarta ke Semarang atau dari Amsterdam ke Paris. Tapi semuanya hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria dan di sungainya banyak buaya. Banyak penduduk aslinya yang masih head hunter, atau masih kanibal, masih suka makan orang.
Pemberontakan mulai tanggal 12 November 1926 di Banten dan kemudian bulan Januari 1927 di Sumatera Barat. Secara militer pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Kemudian 13 ribu orang ditangkap dan 4.500 yang dipenjara setelah diadili. Pemerintah kolonial dalam memilih siapa yang mesti dibuang dan siapa yang tidak dibuang, ini sepenuhnya diserahkan kepada residen dan kepada kepala  polisi, terutama polisi rahasia, PID, setempat. Ini tergantung pada residen yang mengusulkan siapa yang harus dibuang. Kalau orangnya sudah diusulkan oleh residen, usulannya hampir 100 persen disahkan oleh gubernur jenderal.
Kalau dibandingkan dengan prosedur pembuangan sebelum ini, pembuangan sesudah pemberontakan menjadi sangat rutin. Waktu dr Tjipto Mangunkusumo dibuang pada awal 1920-an, dia tidak boleh tinggal di daerah yang berbahasa Jawa. Jadi dia terpaksa tinggal di Bandung. Untuk itu prosedurnya cukup  panjang. Mula-mula dia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan semua pertanyaan harus dijawab oleh Tjipto itu disusun oleh kepala polisi rahasia. Kemudian residen mengajukan pertanyaan-petanyaan itu kepada Tjipto. Sesudah itu Dewan Hindia kumpul untuk membicarakan masalah pembuangan Tjipto. Tapi prosedur semacam ini sama sekali tidak diambil sesudah pemberontakan. Pokoknya kalau orangnya sudah diusulkan residen supaya dibuang, maka seterusnya dia pun dibuang. Dan pertanyaan itu semuanya sama, tidak disesuaikan dengan kasus perseorangan.
Jadi yang sangat menetukan adalah residen dan polisi rahasia. Karena di setiap keresidenan ada PID. Kepalanya biasanya polisi profesional yang menjadi pembantu residen setempat.
Setelah diputuskan, setelah orang yang akan dibuang sudah ada daftranya, maka kemudian harus dibangun kamp. Yang diperintah untuk itu Kapten Becking, orang KNIL. Dia yang meminpin pasukan menumpas pemberontakan di Banten. Kurang jelas kenapa dia yang dijadikan komandan untuk membangun Boven Digoel. Barangkali dia dipandang sebagai orang yang mengerti pribumi, yang bisa mengambil hati orang pribumi. Itu salah satu alasannya. Dan ternyata memang, dia rupanya cukup disukai. Bukan saja disukai oleh para serdadu Ambon, tapi juga oleh sebagian orang yang dibuang itu sendiri.
Tahanan pertama datang bulan Maret 1927. Semula tempat kediaman mereka disusun berdasarkan suku. Tapi, ini bukan atas perintah dari pemerintah kolonial, tapi secara alamiah. Dan itu bukan keputusan pemerintah. Kalau sudah dimasukkan ke dalam kamp semua orang cukup bebas memilih dimana mereka tinggal. Sejak tahun 1927 pimpinan kamp mengeluarkan peraturan apakah mau atau tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Kalau mau bekerja sama mereka mendapat bayaran selain 72 sen per hari ditambah dengan 40 sen. Yang tidak mau bekerja sama hanya dapat bayaran 72 sen per hari. Ini artinya, para tahanan politik itu dibayar sedikit, diberi makan dan juga logistik. Karena idenya mereka bukan orang criminal, bukan penjahat. Mereka oleh rezim pemerintah kolonial dipandang sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, rust en orde. Jadi begitu dibuang dan sudah dimasukkan ke dalam kamp mereka menjadi orang bebas lagi. Dan sebagai orang bebas, kalau kerja harus dibayar. Itu idenya. Tapi kalau tidak mau kerja tentu mereka tidak dibayar.
Dengan adanya pilihan mau bekerja atau tidak mau bekerja ini, menimbulkan perpecahan di kalangan tahanan politik. Pada tahun-tahun pertama ini para tahanan politik berusaha berorganisasi dengan membentuk dewan di setiap kampung, lalu ada Dewan Pusat atau Central Raad Digoel. Di sini ada dua kelompok. Kelompok yang pertama tidak mau bekerja untuk pemerintah. Hal ini sudah merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Tapi lalu ada dua kelompok, satu kelompok mereka yang tidak mau bekerja tapi dia itu juga tidak berbuat apa-apa untuk melawan pemerintah, artinya tidak mau bekerja sama sekali.
Di situ ada kelompok yang self employed, kerja sendiri, bukan kerja untuk pemrintah. Mereka mau bekerja umpamanya jadi tukang cukur, atau tukang cucui pakaian untuk sesama teman yang dibuang. Mereka mendapat uang dari sesama orang yang dibuang. Satu kelompok lagi yang bukan saja tidak mau bekerja untuk pemerintah tapi mencoba menyusun perlawanan dalam bentuk yang lain. Kelompok terakhir ini yang mendirikan organisasi untuk pemerintahan sendiri dan mereka tentu dipandang oleh pejabat kolonial di Boven Digoel sebagai musuh.

1 komentar: