motivasi

Bagaikan pohon yang bercabang dan semakin berakar kuat, sejarah juga memiliki akar yang kokoh dan bercabang untuk memberikan ilmu di masa depan

Minggu, 04 November 2012

Exorbitante Rechten


Dasar hukum rezim pemerintah kolonial Belanda waktu itu membuang para pemberontak 1926 ke Digoel (rimba terpencil di Papua) dimana ada hak istimewa dari gubenur jenderal yang namanya Exorbitante Rechten. Siapa saja yang ditunjuk oleh gubernur jenderal sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, atau rust en orde, dari pemerintah Hindia Belanda, tidak boleh tinggal di Hindia Belanda atau ditunjukkan tempat di mana dia harus tinggal. Itu dasar hukumnya Digoel didirikan.
Sebelum Pemberontakan 1926 sudah ada beberapa tokoh yang dibuang. Samin Sorontiko, misalnya, dibuang ke Sumatera Barat tahun 1907. Lalu dr Tjipto, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dibuang ke Belanda tahun 1913. Haji Misbach dibuang ke Manokwari tahun 1924, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain juga dibuang pada awal tahun 1920-an. Setelah pemberontakan 1926 itu ada begitu banyak orang yang dibuang ke suatu tempat yang sama. Dan ide membuang itu keluarnya begitu cepat. Pemberontakan terjadi 12 November, tanggal 18 November sidang pertama Dewan Hindia, tanggal 19 November sidang kedua. Saat itu diputuskan untuk membuat kamp Digoel. Dengan begitu hanya seminggu setelah pemberontakan sudah diputuskan untuk membuat kamp Digoel.
Ide itu muncul dan dengan proses yang begitu cepat, patut untuk memperhetikan beberapa hal penting. Pertama, idenya sudah ada sebelum pemberontakan. Ide ini pertama kali diungkapkan Schrieke. Daialah yang megusulkan supaya ada tempat khusus didirikan sebagai tempat pembuangan.  Karena orang-orang macam ini, terutama orang komunis waktu itu, mereka kerjanya keluar masuk penjara. Kalau melanggar hukum mereka ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara selama satu atau satu setengah tahun, lalu dimasukkan lagi ke penjara.
Menurut Schrieke ini kasihan. Lebih baik ditunjukkan tempat di mana mereka bisa mendapat kehidupan yang tentram, tidak diganggu oleh mimpi-mimpi untuk merdeka atau untuk mendirikan masyarakat komunis. Jadi, ide itu sudah ada pada tahun 1925, tapi tetap dipertahankan sebagai ide saja. Sekonyong-konyong, waktu pemberontakan terjadi, ide itu dijalankan.
Dalam konteks yang lebih besar, perlu diperhatikan satu fakta bahwa Belanda adalah kekuatan kolonial yang minor. Bukan yang nomor satu,  tetapi nomor tiga, setelah Inggris dan Perancis. Koloni yang mereka punya dan berarti, adalah Hindia Belanda. Lain dari Inggris. Karena Inggris punya koloni di Afrika, Australia, India, dan di banyak tempat lagi. Kalau umpamanya ada orang di Birma yang jadi nakal dan harus dibuang, mereka bisa ditempatkan umpamanya ke Sri Lanka atau ke Afrika. Tapi karena di Hindia Belanda tidak ada tempat lain, kemana orang-orang macam ini bisa dibuang. Jadi, pejabat tinggi Hindia Belanda pada tahun 1926 menyimpulkan bahwa lebih baik mendirikan satu tempat di Hindia-Belanda, dimana lebih dari seribu orang bisa dibuang.
Masyarakat Belanda ketika itu begitu paranoid, begitu takut terhadap gerakan apapun di bumiputera. Jadi pemerintah kolonial tidak perlu menjual ide itu atau ide Digoel ini kepada masyarakat Hindia-Belanda maupun kepada masyarakat Belanda sendiri. Orang kulit putih senang sekali kalau orang komunis, nasionalis, dan lain-lain, semua dibuang atau dibunuh. Selain itu Gubernur Jenderal de Graff waktu itu masih percaya dengan  kemumngkinan untuk  membangun Nuigini sebagai koloni yang baru. Karena waktu itu Nuigini atau Irian Barat memang belum dibangun sama sekali. De graff percaya aka nada kesempatan untuk mendirikan suatu koloni yang baru, yang makmur dan tentram untuk orang-orang komunis, dan sekaligus juga akan menjadi koloni yang baik untuk Hindia Belanda.
Ada begitu banyak pulau lain di Hindia Belanda, dan pada waktu itu begitu banyak daerah yang belum dibuka untuk koloni baru. Ternyata Digoel yang dipilih. Yang paling pentinh diperhatikan adalah tempat pembuangan itu harus terisolasi 100 persen. Dan orang yang diutus mencari tempat pembuangan yang baru itu adalah Gubernur Maluku. Karena Nuigini juga termasuk Provinsi Maluku, orang ini mngusulkan Boven Digoel yang paling baik. Atas usulan dari Gubernur Maluku itu, Dewan Hindia lalu menentukan Boven Digoel sebagai tempat pembuangan.
Ada memang tempat-tempat lain. Tapi menurut Gubernur Provinsi Maluku, Boven Digoel itu ideal sebagai tempat pembuangan karena 100 persen terisolasi. Jaraknya dari muara Sungai Digoel itu 455 kilometer ke arah hulu, ke pedalaman. Itu sama dengan jarak Jakarta ke Semarang atau dari Amsterdam ke Paris. Tapi semuanya hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria dan di sungainya banyak buaya. Banyak penduduk aslinya yang masih head hunter, atau masih kanibal, masih suka makan orang.
Pemberontakan mulai tanggal 12 November 1926 di Banten dan kemudian bulan Januari 1927 di Sumatera Barat. Secara militer pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Kemudian 13 ribu orang ditangkap dan 4.500 yang dipenjara setelah diadili. Pemerintah kolonial dalam memilih siapa yang mesti dibuang dan siapa yang tidak dibuang, ini sepenuhnya diserahkan kepada residen dan kepada kepala  polisi, terutama polisi rahasia, PID, setempat. Ini tergantung pada residen yang mengusulkan siapa yang harus dibuang. Kalau orangnya sudah diusulkan oleh residen, usulannya hampir 100 persen disahkan oleh gubernur jenderal.
Kalau dibandingkan dengan prosedur pembuangan sebelum ini, pembuangan sesudah pemberontakan menjadi sangat rutin. Waktu dr Tjipto Mangunkusumo dibuang pada awal 1920-an, dia tidak boleh tinggal di daerah yang berbahasa Jawa. Jadi dia terpaksa tinggal di Bandung. Untuk itu prosedurnya cukup  panjang. Mula-mula dia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan semua pertanyaan harus dijawab oleh Tjipto itu disusun oleh kepala polisi rahasia. Kemudian residen mengajukan pertanyaan-petanyaan itu kepada Tjipto. Sesudah itu Dewan Hindia kumpul untuk membicarakan masalah pembuangan Tjipto. Tapi prosedur semacam ini sama sekali tidak diambil sesudah pemberontakan. Pokoknya kalau orangnya sudah diusulkan residen supaya dibuang, maka seterusnya dia pun dibuang. Dan pertanyaan itu semuanya sama, tidak disesuaikan dengan kasus perseorangan.
Jadi yang sangat menetukan adalah residen dan polisi rahasia. Karena di setiap keresidenan ada PID. Kepalanya biasanya polisi profesional yang menjadi pembantu residen setempat.
Setelah diputuskan, setelah orang yang akan dibuang sudah ada daftranya, maka kemudian harus dibangun kamp. Yang diperintah untuk itu Kapten Becking, orang KNIL. Dia yang meminpin pasukan menumpas pemberontakan di Banten. Kurang jelas kenapa dia yang dijadikan komandan untuk membangun Boven Digoel. Barangkali dia dipandang sebagai orang yang mengerti pribumi, yang bisa mengambil hati orang pribumi. Itu salah satu alasannya. Dan ternyata memang, dia rupanya cukup disukai. Bukan saja disukai oleh para serdadu Ambon, tapi juga oleh sebagian orang yang dibuang itu sendiri.
Tahanan pertama datang bulan Maret 1927. Semula tempat kediaman mereka disusun berdasarkan suku. Tapi, ini bukan atas perintah dari pemerintah kolonial, tapi secara alamiah. Dan itu bukan keputusan pemerintah. Kalau sudah dimasukkan ke dalam kamp semua orang cukup bebas memilih dimana mereka tinggal. Sejak tahun 1927 pimpinan kamp mengeluarkan peraturan apakah mau atau tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Kalau mau bekerja sama mereka mendapat bayaran selain 72 sen per hari ditambah dengan 40 sen. Yang tidak mau bekerja sama hanya dapat bayaran 72 sen per hari. Ini artinya, para tahanan politik itu dibayar sedikit, diberi makan dan juga logistik. Karena idenya mereka bukan orang criminal, bukan penjahat. Mereka oleh rezim pemerintah kolonial dipandang sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, rust en orde. Jadi begitu dibuang dan sudah dimasukkan ke dalam kamp mereka menjadi orang bebas lagi. Dan sebagai orang bebas, kalau kerja harus dibayar. Itu idenya. Tapi kalau tidak mau kerja tentu mereka tidak dibayar.
Dengan adanya pilihan mau bekerja atau tidak mau bekerja ini, menimbulkan perpecahan di kalangan tahanan politik. Pada tahun-tahun pertama ini para tahanan politik berusaha berorganisasi dengan membentuk dewan di setiap kampung, lalu ada Dewan Pusat atau Central Raad Digoel. Di sini ada dua kelompok. Kelompok yang pertama tidak mau bekerja untuk pemerintah. Hal ini sudah merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Tapi lalu ada dua kelompok, satu kelompok mereka yang tidak mau bekerja tapi dia itu juga tidak berbuat apa-apa untuk melawan pemerintah, artinya tidak mau bekerja sama sekali.
Di situ ada kelompok yang self employed, kerja sendiri, bukan kerja untuk pemrintah. Mereka mau bekerja umpamanya jadi tukang cukur, atau tukang cucui pakaian untuk sesama teman yang dibuang. Mereka mendapat uang dari sesama orang yang dibuang. Satu kelompok lagi yang bukan saja tidak mau bekerja untuk pemerintah tapi mencoba menyusun perlawanan dalam bentuk yang lain. Kelompok terakhir ini yang mendirikan organisasi untuk pemerintahan sendiri dan mereka tentu dipandang oleh pejabat kolonial di Boven Digoel sebagai musuh.

Revolusi Perancis









Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikan menjatuhkan kekuasaan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.
Banyak faktor yang menyebabkan meletusnya Revolusi Perancis. Di antaranya adalah gabungan antara sikap pemerintahan monarki yang kaku dalam menghadapi perubahan dan berkembangnya ketidakpuasan di kalangan kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti.
Selanjutnya secara rinci Revolusi Perancis disebabkan faktor-faktor berikut ini:
1.               Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
2.             Kemarahan terhadapa sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan sampai batas tertentu, kaum borjuis.
3.             Bangkitnya gagasan-gagasan pencerahan.
4.             Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
5.             Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
6.             Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
7.             Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas professional yang ambisius.
8.             Kebencian terhadap intoleransi agama.
9.             Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas revolusioner bermula ketika Raja Perancis Louis XVI (1774-1792) menghadapi krisis keuangan kerajaan. Keluarga Raja Perancis, yang secara keuangan identik dengan Negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam.
Namun sistem itu menemui kegagalan karena mendapatkan tntangan terus-menerus dari perlemen, yang didominasi oleh “Para Bangsawan”, yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan.
Charles Alexandre de CAlonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur terhadap stabilitas keuangan Perancis. Namun, setelah melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, Callone menyimpulkan bahwa strategi seperti itu tidak mungkin dilakukan. Sebagai gantinya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek dia berharap dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja. Ia juga berharap kebijakan itu akan dapat mengembalikan kepercayaan terhadap keuangan Perancis, dan berharap pemerintah mendapatkan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali utang tersebut.
Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuan, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya. Mereka bersikeras hanya lembaga yang betul-betul representative, seperti  Estates-general (wakil-wakil berbagai golongan) kerajaan, yang berhak menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Ètienne Charles de Lomènie de Brienne, Uskup Agung Touluse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan.

Sabtu, 03 November 2012

Perpindahan Ibu Kota RI ke Yogyakarta


Republik Jogja adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut periode ketika kedudukan ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta, yaitu antara tanggal 4 Januari 1946 sampai tanggal 27 Desember 1949. Selain tiga tahun Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman bagaikan tulang punggung yang menopang jalannya pemerintahan dan kelanjutan perjuangan RI.
Berpindahnya ibukota RI pada saat itu dipicu situasi Jakarta yang tidak kondusif untuk menjadi pusat pemerintahan. Saat itu, pasukan sekutu mulai mendarat, sedangkan tentara Jepang belum pergi. Kekacauan ditambah dengan konflik politik yang terjadi antartokoh dalam negeri sendiri. Sejumlah rencana pembunuhan mengancam para petinggi RI. Saratnya konflik mengakibatkan macetnya roda pemerintahan.
Atas inisiatif dan tawaran Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ibu kota RI berpindah ke Yogyakarta. Tawaran yang dikirimkan lewat kurir pada 2 Januari 1946 itu disambut baik oleh pemerintah di Jakarta. Pemindahan ibu kota ke Yogyakarta ini berhasil membuat roda pemerintahan yang sebelumnya macet menjadi jalan kembali. Tawaran HB IX ini mencerminkan keberanian dan jiwa patriotismenya. Saat itu hanya HB IX saja yang berani menawarkan daerahnya menjadi pusat pemerintahan RI. Tidak ada daerah lain yang berani seperti itu.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa), karena jadwal perjalannya dilakukan di luar jadwal yang ada. Setibanya para pemimpin di Yogyakarta saat itu telah terkoordinasi dan tertata rapi. Hal ini belum tentu bisa dilakukan di daerah lain karena saat itu kondisi di daerah lain belum sebaik dan seaman Yogyakarta.
Keratin Yogyakarta juga menanggung biaya para pejabat RI selama berada di Yogyakarta. Keuangan RI dalam kondisi sangat buruk. Untuk pembiayaan ini, jumlah yang dikeluarkan oleh Keraton diperkirakan mencapaijutaan gulden. Hal ini juga diikuti rakyat Yogyakarta dengan menyumbangkan tenaga, makanan dan harta benda.
Sumbangsih Keraton Yogyakarta terhadap RI tidak hanya melalui peran aktif Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Negara dan Menteri Pertahanan, namun juga bantuan materi secara langsung dari Keraton dan Puro Pakualaman. Bantuan tersebut mulai dari peralatan rumah tangga sampai gulden Belanda. Istana Kepresidenan (Gedung Agung) setelah ditinggalkan Jepang tidak terdapat peralatan rumah tangga. Oleh karena itu Keraton Yogyakarta memberikan berbagai peralatan secara lengkap. Tidak hanya itu. Untuk melanjutkan perjuangan RI mengusir Belanda melalui perlawanan fifik, Keraton yang masih memiliki logistik persenjataan cukup lengkap juga memberikan setidaknya 1440 pucuk senjata api kepada pasukan RI. Selain senjata api, Keraton Yogyakarta juga menyumbangkan senjata-senjata tajam seperti tombak.
Menurut laporan Menteri Peburuhan dan Sosial Kabinet Hatta I, Rahendra Koesnan, tujuan Sultan HB IX memberikan bantuan uang Belanda dalam jumlah sangat besar yang disimpan di Keraton kepada pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah pusat adalah agar mereka jangan sampai menyeberang kepada pihak Belanda karena tergiur uang Belanda.
Pembagian bantuan diberikan setiap bulan sampai Yogyakarta kembali ke tangan RI. Tindakan tersebut adalah suatu kebijaksanaan seorang negarawan besar. Sri Sultan HB IX menyimpan uang Belanda tidak untuk kepentingan sendiri atau keluarganya tetapi untuk lepentingan perjuangan kmerdekaan tanah air.
Pada tanggal 3 Maret 1946 Presiden dan Wakil Presiden menghadiri pendirian yayasan Balai Perguruan Tinggi Kebangsaan Gadjah Mada, yang mencakup dua fakultas: hokum dan sastra. Pada tanggal 7 Desember 1949, Balai Perguruan Tinggi tersebut diserahkan kepada pemerintah. Alibatnya semua perguruan tinggi di Yogyakarta digabung menjadi satu universitas. Pada tanggal 19 Desember 1949 diresmikan berdirinya Universitas Gadjah Mada dengan rector Prof. Dr. Sardjito. Semula mencakup enam fakultas: kedokteran, hokum, teknik, sastra dan filsafat, pertanian dan kedolteran hewan. Sedangkan tempat kuliah berada di Pagelaran dan Sitihinggil Keraton Yogyakarta yang dipinjamkan oleh Sri Sultan HB  IX.
Dinamika politik berlangsung di Yogyakarta seiring dengan perpindahan ibu kota. Presiden Soekarno membentuk Kabinet Sjahrir I (14 November 1945-12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II (12 ?MAret-2 Oktober 1946), dan Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947). Pernyataan gelagat bahwa Belanda tidak mau berunding dengan Soekarno adalah salah satu factor yang mendorong Soekarno memilih Sutan Sjahrir untuk mendukung diplomasi. Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Sebelum periode Republik Jogja, perjuangan mempertahankan kemerdekaan juga berlangsung dengan gencar dan efektif, baik dalam bentuk gerilya maupun perundingan. Pada periode ini pula Yogyakarta dengan jiwa kemerdekaannya memegang peran penting dalam mempertahankan kelangsungan RI. Dalam masa itu pula, terjadi beberapa peristiwa penting yang diprakarsai dari tokoh-tokoh di Yogyakarta. Di antaranya, pengakuan Kerajaan Belanda terhadap keberadaan RI dalam Konferensi Meha Bundar. Sebelumnya, dunia internasional dikejutkan dengan Serangan Umum Satu Maret di Yogyakarta.
Seperti diakui sendiri oleh Presiden Soekarno dalam kesannya, keberhasilan Republik Jogja dalam mempertahankan RI tak lepas dari jiwa kemerdekaan rakyat Yogyakarta. Kesan itu ditulis Soekarno saat meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta tanggal 28 Desember 1949.

Budaya Pra Hoabinh Sumatera Bagian Utara

Pada awalnya tinggalan budaya manusia tertua yang ditemukan di Indonesia berumur sekitar 800.000 tahuin yang lalu. Tinggalan tersebut ditakini sebagai sisa peralatan Homo Erectus Sangiran. Setelah dilakukan penelitan kembali ditemukan himpunan peralatan serpih yang terpintal dengan endapan sungai purba sekitar 1,2 juta tahun yang lalu. Artefak ini sebagai alat dicirikan dari adanya dataran pukul, bagian dorsal berfaset, dan bagian ventral harus tanpa faset, serta bagian pinggirannya terdapat primping bekas pemakaian. Begitu juga pada babakan periode Paleolitik yang dikaitkan dengan himpunan peralatan batu dengan teknologi sederhana sering menjadi acuan bagi penelitian prasejarah pada babakan yang jauh lebih tua dari keberadaan peralatan-peralatan batu yang kerap ditemukan pada dinding tebing, dipermukaan tanah ataupun sungai.
Wilayah Pulau Sumatera bagian utaa pada umumnya dan pesisir timur Pulau Sumatera merupakan kawasan yang memiliki peran penting bagi sebuah perkembangan kebudayaan di Indonesia bahkan di kawasan kepulauan Asia Tenggara. Hal tersebut terbukti sejak berlangsungnya glacial, dimana di antaranya Daratan Asia yang bersatu dengan Pulau Sumatera menjadi salah satu alur migrasi manusia dan kebudayaan pada masa lampau. Bersatunya kedua kawasan itu menjadikan berbagai binatang yang hidup di kedua kawasan itu menjadi memiliki kesamaan, yang sangat mungkin persebarannya telah berlangsung pada masa glacial yang dimaksud. Pada masa pasca glacial tentu juga terjadi migrasi ke wilayah Indonesia pada umumnya dan ke Pulau Sumatera bagian utara pada khususnya. Migrasi yang berlangsung tentu sekaligus membawa budaya yang berkembang pada masa itu dan sangat memungkinkan adanya kontak antara penduduk yang lebih dulu bertempat tinggal di pesisir timur Pulau Sumatera dengan migrasi yang datang belakangan.
Pada masa prasejarah di pesisir timur Pulau Sumatera telah berlangsung sebuah kebudayaan yang penyebaranyya sangat luas yang sering disebut dengan budaya Hoabinh. Sebaran budaya ini bukti-buktinya ditemukan dari Vietnam bagian utara hingga ke Pulau Sumatera. Pendukung budaya ini memiliki cara hidup yang khas yaitu mengeksploitasi biota marin (moluska) untuk bahan pangan selain juga melakukan perburuan. Teknologi dan morfologi peralatan batunya sangat khas yang kerap disebut dengan sumatralith. Ketika budaya hoabinh berkembang di pesisir timur Pulau Sumatera, diduga telah ada kelompok manusia yang tinggal di wilayah ini, begitu juga pada masa selanjutnya (pasca hoabinh) dating kelompok manusia lainnya yang membawa budaya yang lebih maju dengan budaya yang berkembang di pesisir timur Pulau Sumatera. Artinya migasri yang berlangsung di wilayah pesisir timur Pulau Sumatera terjadi berkali-kali dengan berbagai kelompok manusia yang disertai dengan budayanya.

SITUS MUZOI
Hasi penelitian geologi menujukkan bahwa Pulau Nias memiliki masa yang sama dengan Pulau Sumatera pada umumnya, yakni pada masa glacial yang terakhir pulau tersebut tidak terendam lautan, maka kemungkinan Pulau Nias pernah dihuni manusia sejak masa prasejarah. Kondisi tersebut diperkuat dengan bukti temuan berbagai alat Paleolitik di DAS Muzoi, Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Aspek teknologi dan morfologi yang terdapat pada alat batunya menunjukkan cirri teknologi Paleolitik.
Paleolitik sesungguhnya tidak mengacu kepada suatu periode tetapi hanya merupakan terminology yang dikenal manusia pada Kala Pleistosen, dan sering disebut sebagai masa nberburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana. Ketika itu cara hidup dan teknologinya masih sangat sederhana, yaitu dengan mengeksploitasi sumber alam secara langsung. Pola hidup berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka menggunakan peralatan batu tanpa  gagang dengan teknik pembuatan yang sangat sewderhana. Cara hidup demikian meyebabkan artefak yang ditinggalkan tidak hanya ditemukan pada lokasi hunian atau perbengkelan, tetapi juga ditemukan di lahan-lahan perburuan pada masa itu. Paleolitik di Indonesi9a tidak hanya dikenal melalui penggunaan peralatan batu (kapak perimbas, kapak genggam, alat serpih), tetapi juga peralatan dari bahan tulang maupun tanduk.
Di bagian tengah Pulau Nias tedapat teban besar yang mengarah barat laut-tenggara, searah dengan poros Pulau Nias. Terban ini diakibatkan oleh struktur sesar yang terjadi pada Kala Akhir Miosen Tengah. Selanjutnya pada Kala Pleistosen Atas umumnya terendap sedimen sungai purba, dan undak-undak sungai purba terbentuk oleh kikisan Sungai Muzoi yang terletak pada bagian tengah terban tersebut. Diketahui pula bahwa pada terban itu dijumpai paling tidak 2 sampai 3 undak sungai purba yang endapannya terdiri atas kerakal dan kerikil polemic, di antaranya fosil kayu, kuarsa susu, rijang, batu gamping kersikan, fosil koral kersikan, batu gamping, foraminifera, dan batuan gnes.

SITUS LOGAS
Situs masa Paleolitik yang terdapat di Pulau Sumatera bagian utara yaitu di DAS Kuantan, masuk dalam wilayah administrasi Desa Lodas, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Dua buah sungai yang merupakan hulu dari Sungai Kuantan yaitu di antaranya terdapat di sekitar wilayah Muara Lembu. Kedua sungau itu adalah Sungai Batang Lembu Keruh. Kedua hulu sungai tersebuit merupakan sungai yang cukup besar dengan lebar berkisar 50 meter hingga 75 meter. Pada aliran Sungai Batang Keruh ditemukan peralatan berbahan batu yang dari morfologi serta teknologinya menunjukkan budaya Paleolitik.
Melimpahnya bahan baku kerakal yang terdapat pada Sungai Batang Lembu Keruh maka yang digunakan sebagai artefak batu yaitu kerakal dengan ukuran panjang berkisar 10 cm dan kebar berkisar 7 cm berbahan fosil kayu, rinjang, ataupun batuan andesit lainnya, merupakan bahan baku yang ideal bagi sebuah alat batu.
Kerakal yang diduga artefak tersebut menujukkan bahwa ada indikasi teknologi dalam pembuatan alat batu yaitu dengan menyiapkan kerakal dan memangkas salah satu sisinya (mesialnya) sehingga menhasilkan kapak batu dengan sebuiah pangkasan besar dan lebar dari ujung proksimal ke rarah lateral, atau sebuah pangkasan besar dengan menyiapkan dataran pukul atau tudak dengan dataran pukul (lateral sudah datar) pada salah satu lateral dengan pangkasan ke seluruh sisi lateral. Ada kecenderungan kerakal yang dipangkas dengan teknik tersebut memiliki lateral yang agak melandai. Secara morfologi alat batu yang dihasilkan memliki bentuk yang relatif sama.

Selasa, 30 Oktober 2012

Ciri-ciri Kehidupan Masyarakat pada Zaman Prasejarah


.    A.      Zaman Palaeolitikum
Zaman Batu Tua berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu. Pada zaman ini alat-alat banyak dibuat dari batu kasar yang tidak dihaluskan. Alat yang digunakan antara lain Chopper atau kapak genggam.
Kebudayaan pertama di Indonesia ada 2, yaitu:
·         Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 di dekat Pacitan dalam penelitian yang dilakukan oleh Von Koenigswald ditemukan sejumlah peralatan-peralatan batu, chopper (kapak batu/alat penetak yang kasar pembuatannya dan tidak bertangkai). Peralatan ini disebut juga kapak genggam, yaitu alat yang berfungsi seperti kapak tetapi tidak bertangkai. Ketika mempergunakannya ialah dengan cara menggenggamnya di tangan yang berasal dari lapisan trinil, alat chopper ini terdapat pula di daerah Parigi dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi, Lahat dan Sangiran.
·         Kebudayaan Ngandong
Disekitar daerah Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) didapati banyak alat-alat dari tulangdi samping kapak-kapak genggam dari batu. Ada diantaranya yang dibuat dari tulang binatang menjadi semacam alat penusuk (belati), ada yang dari tanduk rusa. Ada juga alat-alat seperti ujung tombak dengan gigi-gigi pada sisinya, yang mungkin dipergunakannya untuk menangkap ikan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang yang disebut Bone Culture, bentuk alatnya berupa tulang.
Di sangiran juga ditemukan alat-alat yang kecil, yang biasa dinamakan flakes. Alat-alat itu berasal dari ploeistocen atas. Maka mungkinlah bahwa alat-alat itu merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis
Kehidupan masyarakat pada zaman ini masih sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka masih bergantung pada alam. Oleh karena itu tempat tinggal mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya (nomaden). Mereka hidup dengan cara berburu dan menangkap ikan serta mengambil makanan dari alam (food gathering).
Mereka belum memiliki tempat tinggal yang tetap. Cara hidup mereka belum berkelompok, kehidupan rohani dalam bentuk kepercayaan pada masa itu belum ada, kemungkinan besar merekapun belum mengenakan penutub tubuh, karena bukti-bukti untuk itu tidak ditemukan. 

 B.       Zaman Mesolitikum
Pada zaman ini, bentuk benda-benda atau alat-alat masih sama dengan zaman batu tua, yaitu berbentuk kasar, tidak diasah, dan tidak dihaluskan. Alat-alat yang dihasilkan pada zaman ini antara lain pebble(kapak genggam) sejenis chopper pada masa Palaeolitikum dan hacle courte (kapak pendek).
Pada zaman ini, tempat tinggal masyarakat sudah mulai menetap atau tidak berpindah-pindah. Mereka tinggal di gua-gua dan tepi pantai.
Mereka sudah menanam tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal mereka.  Walaupun masih terbatas pada tumbuh-tumbuhan tertentu yang hanya mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari saja, dalam pengertian bukan foodproducing, karena tanda-tanda telah melakukan pertanian yang sifatnya foodproducing belum ditemukan, dengan demikian mereka sudah mengenal hidup bercocok tanam dan mulai beternak. Mereka sudah tidak bergantung pada alam, mereka sudah mulai  memikirkan persediaan makanannya.
Namun begitupun, kemungkinan mereka sudah memulai hidup berkelompok walaupun bukan kelompok masyarakat tapi masih kelompok-kelompok kecil atau keluarga inti, rasa malupun sudah ada, mereka mulai menutup tubuhnya walau masih baru pada tahap menutup bagian-bagian tertentu saja. Pada masa ini bagaimana cara buat api sudah mulai dikenal. Juga perasaan, kasih saying serta penghormatan terhadap manusia lainpun sudah mulai ada.

C.    Zaman Neolitikum
Pada zaman batu muda ini alat-alat dibuat dari batu yang sudah diasah atau dihaluskan. Selain itu, pembuatan alat-alat ini sudah mulai memperhatikan nilai seninya.
Dari hasil penelitian, para ahli menyimpulkan masyarakat zaman neolitikum ini telah memiliki tenpat tinggal yang menetap dengan kepoandaian membuat rumah, alat yang digunakan pada masa  ini adalah beliung persegi. Rumah didirikan dengan tiang-tiang yang tinggi. Maksudnya untuk menghindari bahaya banjir dan binatang buas. Juga digunakan sebagai kandang hewan ternak mereka.
Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka telah foodgathering sudah menanam kebutuhan pokok, memelihara dan beternak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mereka butuhkan sehari-hari.
Hidup berkumpul berarti telah ada pembentukan suatu masyarakat yang tertib dan pemerintahan yang memerlukan segala peraturan serta kerjasama, pemimpin pada masa itu disebut Primus Inter Pares yang dipilih secara musyawarah dan mufakat berdasarkan syarat-syarat yang mereka sepakati bersama. Pembagian kerja memungkinkan terbentuknya gotong royong.
Kerajinan tangan seperti menenun dan membuat periuk belanga dan cangkul sangat dapat mendapat kemajuan. Mereka juga sudah pandai menenun tekstil yang agak halus. Dan mereka juga telah mempunyai kepercayaan, seperti Anymisme dan Dynamisme.

D.      Zaman Megalitikum
Zaman Megalitikum atau zaman besar, para ahli tidak memasukan zaman megalitikum ini ke dalam kelompok batu terutama zaman neolitikum dab juga tidak memasukkannya ke dalam kelompok zaman perunggu. Kemungkinan dikarenakan walaupun dalam kehidupan sehari mereka masih menggunakan peralatan hidup yang terbuat dari bahan batu namun demikian manusia pada masa ini juga telah mempergunakan peralatan hidup sehari-hari mereka dari bahan-bahan yang terbuat dari perunggu.
Megalitikum dapat dikatakan adalah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar, ada yang sudah dihaluskan dan ada yang dikaitkan dengan kehidupan nenek moyangya ada juga yang dipakai sebagai tanda peringatan atau monument, zaman ini berakar pada zaman Neolitikum dan berkembang terus pada zaman Perunggu. Zaman ini masih menggunakan batu sebagai hasil budayanya.

E.       Zaman Perunggu
Masa perundagian ini sangat besar artinya bagi perkembangan sejarah Indonesia pada masa selanjutnya kemajuan-kemajuan telah dicapai diberbagai bidang teknologi. Peningkatan kesejahteraan hidup menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk. Masyarakat telah berkelompok dan membentuk perkampungan dan pemerintahan yang disebut Primus Interpares.
Primus Interpares ini adalah pemimpin mayarakat pada masa ini dimana sifatnya hanya seumur hidup. Apabila Primus Interpares ini meninggal dunia maka diadakan kembali pemilihan berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Bentuk mata pencaharian yang berkembang pasa masa itu perundagian adalah pertanian dalam bentuk berladang atau bersawah, perikanan laut dan perdagangan kemahiran membuat peralatan pertanian dan peralatan untuk hidup sehari-hari semakin berkembang. Akhirnya terbentuklah keahlian khusus dalam pekerjaan, secara sederhana mereka juga percaya pada hal-hal yang menakutkan atau kekuatan yang dianggap serba hebat yang tak terjangkau oleh akal fikiran manusia, yaitu Anymisme dan Dynamisme.