motivasi

Bagaikan pohon yang bercabang dan semakin berakar kuat, sejarah juga memiliki akar yang kokoh dan bercabang untuk memberikan ilmu di masa depan

Sabtu, 18 Mei 2013

Pengertian dan Sejarah HAM


1.            Pengertian dan Hakikat HAM
Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan secara moral maupun secara hukum kepada setiap menusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan, atau perlakuan apapun yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan. Berabad-abad lamanya manusia dalam jumlah massal hidup dalam keadaan tidak diakui hak-haknya yang asasi demikian itu. Jutaan manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai budak-budak tawanan yang dapat diperjualbelikan oleh para penguasa yang mengklaim kekuasaannya sebagai kekuasaan yang berlegitimasi supranatural.
Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi MAnusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan dan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu antara keseimbangan hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Upaya penghormatan melindungi dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah bahkan Negara, jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan seseorang tidak boleh merusak kepentingan orang banyak.

2.                  Sejarah dan Perkembangan HAM
Kehadiran konsep hak asasi manusia dalam sejarah perkembangan ilmu politik sebenarnya berawal dari kebutuhan untuk melindungi hak-hak rakyat dari tindakan-tindakan otoriter penguasa. Dalam setiap kesempatan, bila mana pihak penguasa melakukan tindakan-tindakan yang menyinggung perasaan, merendahkan martabat, atau menindas hak-hak rakyat, maka hampir selalu timbul reaksi dari kalangan tertindas. Reaksi itu merupakan perjuangan untuk memperoleh apa yang dianggap sebagai hak, tak jarang perjuangan itu harus ditebus dengan pengorbanan jiwa dan raga.
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus  mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada perlemen. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689.

Unsur-unsur Budaya Islam dan Unsur Budaya Asli Indonesia Yang Telah Dipengaruhi Budaya Islam


2.1 Budaya Asli Indonesia Sebelum Islam Datang
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam.
Seperti halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir terkena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.
Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup (konservatif) dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.
Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara.

2.2 Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.

Perdagangan
Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap (baik sementara waktu ataupun seterusnya)  mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan. Banyak di antara para saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.

Perkawinan
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan para sultan atau para adipatinya.

Tasawuf
Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çina, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.

Pendidikan
Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.

Seni
Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.

Egalitarianisme
Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini, oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama baru ini.




2.3 Akulturasi Budaya Indonesia dengan Budaya Islam
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Untuk lebih memahami wujud budaya yang sudah mengalami proses akulturasi dapat Anda simak dalam uraian materi berikut ini.
1)    Akulturasi Bentuk Fisik
a)    Seni Bangunan
·         Mesjid
Bentuk Bangunan. Kebanyakan mesjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti pendopo yang berbentuk bujur sangkar. Selain itu atap mesjid berbentuk tumpang. Ini merupakan perpaduan dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura. Atap ini sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan tetapi dalam Islam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting dapat dijadikan sebagai tempat sholat. Atap ini juga selalu ganjil, yaitu 3 atau 5.
Menara. Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan. Menara merupakan salah satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjid Kudus dan banten saja yang memiliki menara. Menara msjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti candi sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa.
Letak Mesjid. Selain bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki keunikan. Penempatan masjid di Indonesia terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata letak macapat, yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana (keraton) yang merupakan simbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid diletakkan dekat dengan makam. Letak yang seperti ini terutama untuk makam raja-raja. Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya.

·         Makam
Yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
1.    Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
2.    Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu.
3.    Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
4.    Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
5.    Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
·         Istana
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).

2)    Akulturasi Bentuk Kesenian
a)    Seni Ukir
Dalam agama Islam ada larangan untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia. Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi masuk zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada zaman ini kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun sudah disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola yang diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit karang, pemandangan dan garis-garis geometri. Huruf-huruf Arab juga ikut meramaikan tradisi ukir yang masuk ke dalam pola. Pola-pola ini sering sekali digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya menghiasi makam-makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja. Ukir-ukiran di makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup. Di Indonesia ada masjid yang memiliki ukiran samar dari zaman madya, yaitu masjid mantingan di Jepara.

b)    Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian.
c)    Debus
Kesenian Debus erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus merupakan kesenian bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata gedebus (almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini dimulai dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan benda tajam ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari Debus ini berkembang di Banten, Minangkabau dan Aceh.
d)    Tari Seudati
Tari Seudati merupakan jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar. Disebut sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh delapan orang. Dalam tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang berupa sholawat.
e)    Gamelan/ Wayang
Wayang dan alat musiknya sering disebut sebagai gamelan. Wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia. Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah musnah begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah dan dimainkan menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan penyebarannya cerita-cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada merupakan sesuatu yang telah mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai penyebar agama di Jawa juga menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam.

3)    Akulturasi Bentuk Kesusasteraan
Kesusasteraan zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi perkembangnya tidak sebesar kesusasteraan zaman purba (Hindu-Budha). Hal ini dikarenakan tidak ada tempat khusus untuk melestarikannya seperti kesusasteraan purba yang masih tersimpan rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada saat ini sebagaian besar merupakan hasil gubahan baru. Hal ini menyebabkan kesusasteraan zaman madya sulit diturutkan kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-bagi menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian tersebut tidak dapat dilakukan secara tegas krena suatu naskah dapat masuk dalam 2 golongan.
Kesusasteraan zaman madya tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan dari kesusasteraan zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di Jawa. Banyak gubahan-gubahan sastra purba berkembang di zaman madya. Gubahan-gubahan sastra ini biasanya ditulis dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang ditulis dalam tembang disebut syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga yang menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan.
Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi :
a)    Hikayat
Hikayat merupakan cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan keajaiban dan keanehan. Tidak jarang pula hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi.
Contoh : hikayat Raja-Raja pasai, Hikayat Salasih, Hikayat Perak, Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah.
b)    Babad
Babad merupakan dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad tokoh, tempat dan peristiwa hampir semuanya ada dalam sejarah, tetapi penggambarannya dilakukan secara berlebihan.
Contoh : babad Tanah Jawi, babad Cirebon, Babad Giyanti, Babad Pakepung.
c)    Suluk
Suluk merupakan kitab-kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat menarik karena sifatnya pantheisme, yang menjelaskan tentang bersatu.nya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo lan Gusti). Beberapa pujangga yang menulis suluk diantaranya adalah Ronggoearsito, Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dan Syaekh Yusuf.
d)    Kitab primbon
Kitab primbon memiliki kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan buruk, dan pemberian makna pada suatu kejadian.
Contoh : Kitab primbon Bataljemur Adammakna, kitab primbon Lukman Hakim.

4)    Akulturasi Bentuk Aksara dan Bahasa
a)    Aksara
Dengan masuknya Islam, dalam bidang aksara juga ikut terpengaruhi. Huruf yang berkembang adalah huruf Hijriah (aksara Arab). Di Indonesia huruf Arab tersebut diolah menjadi lebih sederhana menjadi huruf Arab yang dipakai di daerah-daerah dengan percampuran menggunakan bahasa daerah setempat. Bunyi dari tulisan menggunakan bahasa setempat (Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa), tetapi akasaranya mengunakan aksara Arab. Secara keseluruhan tulisan yang demikian disebut dengan Arab Gundul atau Arab Gondil. Sedangkan di Jawa dan Sunda disebut Arab Pegon. Sampai saat ini huruf Arab Pegon masih digunakan oleh sebagain masyarakat di Indonesia. Masyarakat penggunanya terutama berasal dari daerah pesisir dan kalangan pesantren-pesantren tradisional. Penggunaan huruf atau bahasa Pegon itu misalnya saja dalam kitab-kitab keagamaan dan mantra-mantra.

b)    Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

5)    Akulturasi Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.

6)    Akulturasi Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan juga terdapat akulturasi antara kebudayaaan Islam dan kebudayaan pra Islam. Bentuk akulturasi tersebut terlihat dalam penyebutan nama raja dan sistem pengangkatan raja.
a)    Penyebutan nama raja
Masuknya Islam menimbulkan perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suatu negeri pada masa pra Islam disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil sultan, sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan dengan nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jawa masih digunakan nama Jawa. Selain itu muncul suatu tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara berturut-turut. Untuk membedakan antara raja maka dibelakang nama ditambah dengan angka urutan, misalnya Hamengku Buwono I,II,III dst.
b)    Sistem pengangkatan raja
Walaupun Islam telah masuk, akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama tidak ditinggalkan. Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh pengangkatan raja diatur dalam permufakatan dengan hukum adat. Tata caranya adalah berdiri di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di sebelah kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa pedang berdiri di sebelah kiri. Hal ini hampir sama dengan di Jawa, sistem pengangkatan raja berdasarkan permufakatan yang tidak melepaskan peranan wali, hanya saja tidak menggunakan rangkaian acara seperti berdiri di atas tabal.
c)    Kedudukan Raja
Pada masa Hindu Budha raja merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga melekatlah kata-kata “kultus dewa raja”. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan ajaran Islam menolak bahwa manusia sama dengan Tuhan. Ajaran Islam menempatakan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung zaman Hindu Budha, melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia). Penghapusan kultus dewa raja tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja mutlak terhadap atas seluruh rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat dan dapat menghubungkan dengan alam gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang. Seorang raja harus memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di Jawa disebut dengan pulung atau wahyu (cahaya nurbuat). Karena raja menduduki posisi sentral maka seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.

2.4 Contoh Lain Budaya Indonesia Yang Menganut Nilai-nilai Islam
Tepung tawar, biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari. Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak kesialan. Biasanya dilakukan terhadap orang yang sakit agar spiritualnya (roh) kembali ke jasadnya. Yaitu dengan memasak ayam kemudian diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang yang akan diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya ialah mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Sungkeman. Kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu. Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang yang dianggap sepuh (Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud dan rukuk kepada selain Allah, yang tentunya dilarang dalam Islam.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M). Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaih Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar islam) setiap tahun.  Pada awalnya, inti upacara Tabot ialah untuk mengenang upaya pemimpin Syi'ah dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak dan memakamkannya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab, “tabut”, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti.  Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut paham Syi'ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan. Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:
1.  Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2.  Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3.  Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4.  Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5.  Sunatan yaitu acara khinatan.
Masyarakat di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan acara kirim donga (kirim doa) pada hari ke-1, ke-3 (telung dino), ke-7 (pitung dino), ke-40 (patang puluh dino), ke-100 (satus dino), 1 tahun (pendak pisan), 2 tahun (pendak pindo) dan 3 tahun atau 1000 hari setelah kematian (nyewu).
Budaya Tumpeng. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Olahan nasi yang dipakai, umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi “tumpengan” pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.

Minggu, 04 November 2012

Exorbitante Rechten


Dasar hukum rezim pemerintah kolonial Belanda waktu itu membuang para pemberontak 1926 ke Digoel (rimba terpencil di Papua) dimana ada hak istimewa dari gubenur jenderal yang namanya Exorbitante Rechten. Siapa saja yang ditunjuk oleh gubernur jenderal sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, atau rust en orde, dari pemerintah Hindia Belanda, tidak boleh tinggal di Hindia Belanda atau ditunjukkan tempat di mana dia harus tinggal. Itu dasar hukumnya Digoel didirikan.
Sebelum Pemberontakan 1926 sudah ada beberapa tokoh yang dibuang. Samin Sorontiko, misalnya, dibuang ke Sumatera Barat tahun 1907. Lalu dr Tjipto, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dibuang ke Belanda tahun 1913. Haji Misbach dibuang ke Manokwari tahun 1924, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain juga dibuang pada awal tahun 1920-an. Setelah pemberontakan 1926 itu ada begitu banyak orang yang dibuang ke suatu tempat yang sama. Dan ide membuang itu keluarnya begitu cepat. Pemberontakan terjadi 12 November, tanggal 18 November sidang pertama Dewan Hindia, tanggal 19 November sidang kedua. Saat itu diputuskan untuk membuat kamp Digoel. Dengan begitu hanya seminggu setelah pemberontakan sudah diputuskan untuk membuat kamp Digoel.
Ide itu muncul dan dengan proses yang begitu cepat, patut untuk memperhetikan beberapa hal penting. Pertama, idenya sudah ada sebelum pemberontakan. Ide ini pertama kali diungkapkan Schrieke. Daialah yang megusulkan supaya ada tempat khusus didirikan sebagai tempat pembuangan.  Karena orang-orang macam ini, terutama orang komunis waktu itu, mereka kerjanya keluar masuk penjara. Kalau melanggar hukum mereka ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara selama satu atau satu setengah tahun, lalu dimasukkan lagi ke penjara.
Menurut Schrieke ini kasihan. Lebih baik ditunjukkan tempat di mana mereka bisa mendapat kehidupan yang tentram, tidak diganggu oleh mimpi-mimpi untuk merdeka atau untuk mendirikan masyarakat komunis. Jadi, ide itu sudah ada pada tahun 1925, tapi tetap dipertahankan sebagai ide saja. Sekonyong-konyong, waktu pemberontakan terjadi, ide itu dijalankan.
Dalam konteks yang lebih besar, perlu diperhatikan satu fakta bahwa Belanda adalah kekuatan kolonial yang minor. Bukan yang nomor satu,  tetapi nomor tiga, setelah Inggris dan Perancis. Koloni yang mereka punya dan berarti, adalah Hindia Belanda. Lain dari Inggris. Karena Inggris punya koloni di Afrika, Australia, India, dan di banyak tempat lagi. Kalau umpamanya ada orang di Birma yang jadi nakal dan harus dibuang, mereka bisa ditempatkan umpamanya ke Sri Lanka atau ke Afrika. Tapi karena di Hindia Belanda tidak ada tempat lain, kemana orang-orang macam ini bisa dibuang. Jadi, pejabat tinggi Hindia Belanda pada tahun 1926 menyimpulkan bahwa lebih baik mendirikan satu tempat di Hindia-Belanda, dimana lebih dari seribu orang bisa dibuang.
Masyarakat Belanda ketika itu begitu paranoid, begitu takut terhadap gerakan apapun di bumiputera. Jadi pemerintah kolonial tidak perlu menjual ide itu atau ide Digoel ini kepada masyarakat Hindia-Belanda maupun kepada masyarakat Belanda sendiri. Orang kulit putih senang sekali kalau orang komunis, nasionalis, dan lain-lain, semua dibuang atau dibunuh. Selain itu Gubernur Jenderal de Graff waktu itu masih percaya dengan  kemumngkinan untuk  membangun Nuigini sebagai koloni yang baru. Karena waktu itu Nuigini atau Irian Barat memang belum dibangun sama sekali. De graff percaya aka nada kesempatan untuk mendirikan suatu koloni yang baru, yang makmur dan tentram untuk orang-orang komunis, dan sekaligus juga akan menjadi koloni yang baik untuk Hindia Belanda.
Ada begitu banyak pulau lain di Hindia Belanda, dan pada waktu itu begitu banyak daerah yang belum dibuka untuk koloni baru. Ternyata Digoel yang dipilih. Yang paling pentinh diperhatikan adalah tempat pembuangan itu harus terisolasi 100 persen. Dan orang yang diutus mencari tempat pembuangan yang baru itu adalah Gubernur Maluku. Karena Nuigini juga termasuk Provinsi Maluku, orang ini mngusulkan Boven Digoel yang paling baik. Atas usulan dari Gubernur Maluku itu, Dewan Hindia lalu menentukan Boven Digoel sebagai tempat pembuangan.
Ada memang tempat-tempat lain. Tapi menurut Gubernur Provinsi Maluku, Boven Digoel itu ideal sebagai tempat pembuangan karena 100 persen terisolasi. Jaraknya dari muara Sungai Digoel itu 455 kilometer ke arah hulu, ke pedalaman. Itu sama dengan jarak Jakarta ke Semarang atau dari Amsterdam ke Paris. Tapi semuanya hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria dan di sungainya banyak buaya. Banyak penduduk aslinya yang masih head hunter, atau masih kanibal, masih suka makan orang.
Pemberontakan mulai tanggal 12 November 1926 di Banten dan kemudian bulan Januari 1927 di Sumatera Barat. Secara militer pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Kemudian 13 ribu orang ditangkap dan 4.500 yang dipenjara setelah diadili. Pemerintah kolonial dalam memilih siapa yang mesti dibuang dan siapa yang tidak dibuang, ini sepenuhnya diserahkan kepada residen dan kepada kepala  polisi, terutama polisi rahasia, PID, setempat. Ini tergantung pada residen yang mengusulkan siapa yang harus dibuang. Kalau orangnya sudah diusulkan oleh residen, usulannya hampir 100 persen disahkan oleh gubernur jenderal.
Kalau dibandingkan dengan prosedur pembuangan sebelum ini, pembuangan sesudah pemberontakan menjadi sangat rutin. Waktu dr Tjipto Mangunkusumo dibuang pada awal 1920-an, dia tidak boleh tinggal di daerah yang berbahasa Jawa. Jadi dia terpaksa tinggal di Bandung. Untuk itu prosedurnya cukup  panjang. Mula-mula dia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan semua pertanyaan harus dijawab oleh Tjipto itu disusun oleh kepala polisi rahasia. Kemudian residen mengajukan pertanyaan-petanyaan itu kepada Tjipto. Sesudah itu Dewan Hindia kumpul untuk membicarakan masalah pembuangan Tjipto. Tapi prosedur semacam ini sama sekali tidak diambil sesudah pemberontakan. Pokoknya kalau orangnya sudah diusulkan residen supaya dibuang, maka seterusnya dia pun dibuang. Dan pertanyaan itu semuanya sama, tidak disesuaikan dengan kasus perseorangan.
Jadi yang sangat menetukan adalah residen dan polisi rahasia. Karena di setiap keresidenan ada PID. Kepalanya biasanya polisi profesional yang menjadi pembantu residen setempat.
Setelah diputuskan, setelah orang yang akan dibuang sudah ada daftranya, maka kemudian harus dibangun kamp. Yang diperintah untuk itu Kapten Becking, orang KNIL. Dia yang meminpin pasukan menumpas pemberontakan di Banten. Kurang jelas kenapa dia yang dijadikan komandan untuk membangun Boven Digoel. Barangkali dia dipandang sebagai orang yang mengerti pribumi, yang bisa mengambil hati orang pribumi. Itu salah satu alasannya. Dan ternyata memang, dia rupanya cukup disukai. Bukan saja disukai oleh para serdadu Ambon, tapi juga oleh sebagian orang yang dibuang itu sendiri.
Tahanan pertama datang bulan Maret 1927. Semula tempat kediaman mereka disusun berdasarkan suku. Tapi, ini bukan atas perintah dari pemerintah kolonial, tapi secara alamiah. Dan itu bukan keputusan pemerintah. Kalau sudah dimasukkan ke dalam kamp semua orang cukup bebas memilih dimana mereka tinggal. Sejak tahun 1927 pimpinan kamp mengeluarkan peraturan apakah mau atau tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Kalau mau bekerja sama mereka mendapat bayaran selain 72 sen per hari ditambah dengan 40 sen. Yang tidak mau bekerja sama hanya dapat bayaran 72 sen per hari. Ini artinya, para tahanan politik itu dibayar sedikit, diberi makan dan juga logistik. Karena idenya mereka bukan orang criminal, bukan penjahat. Mereka oleh rezim pemerintah kolonial dipandang sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, rust en orde. Jadi begitu dibuang dan sudah dimasukkan ke dalam kamp mereka menjadi orang bebas lagi. Dan sebagai orang bebas, kalau kerja harus dibayar. Itu idenya. Tapi kalau tidak mau kerja tentu mereka tidak dibayar.
Dengan adanya pilihan mau bekerja atau tidak mau bekerja ini, menimbulkan perpecahan di kalangan tahanan politik. Pada tahun-tahun pertama ini para tahanan politik berusaha berorganisasi dengan membentuk dewan di setiap kampung, lalu ada Dewan Pusat atau Central Raad Digoel. Di sini ada dua kelompok. Kelompok yang pertama tidak mau bekerja untuk pemerintah. Hal ini sudah merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Tapi lalu ada dua kelompok, satu kelompok mereka yang tidak mau bekerja tapi dia itu juga tidak berbuat apa-apa untuk melawan pemerintah, artinya tidak mau bekerja sama sekali.
Di situ ada kelompok yang self employed, kerja sendiri, bukan kerja untuk pemrintah. Mereka mau bekerja umpamanya jadi tukang cukur, atau tukang cucui pakaian untuk sesama teman yang dibuang. Mereka mendapat uang dari sesama orang yang dibuang. Satu kelompok lagi yang bukan saja tidak mau bekerja untuk pemerintah tapi mencoba menyusun perlawanan dalam bentuk yang lain. Kelompok terakhir ini yang mendirikan organisasi untuk pemerintahan sendiri dan mereka tentu dipandang oleh pejabat kolonial di Boven Digoel sebagai musuh.

Revolusi Perancis









Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikan menjatuhkan kekuasaan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.
Banyak faktor yang menyebabkan meletusnya Revolusi Perancis. Di antaranya adalah gabungan antara sikap pemerintahan monarki yang kaku dalam menghadapi perubahan dan berkembangnya ketidakpuasan di kalangan kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti.
Selanjutnya secara rinci Revolusi Perancis disebabkan faktor-faktor berikut ini:
1.               Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
2.             Kemarahan terhadapa sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan sampai batas tertentu, kaum borjuis.
3.             Bangkitnya gagasan-gagasan pencerahan.
4.             Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
5.             Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
6.             Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
7.             Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas professional yang ambisius.
8.             Kebencian terhadap intoleransi agama.
9.             Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas revolusioner bermula ketika Raja Perancis Louis XVI (1774-1792) menghadapi krisis keuangan kerajaan. Keluarga Raja Perancis, yang secara keuangan identik dengan Negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam.
Namun sistem itu menemui kegagalan karena mendapatkan tntangan terus-menerus dari perlemen, yang didominasi oleh “Para Bangsawan”, yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan.
Charles Alexandre de CAlonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur terhadap stabilitas keuangan Perancis. Namun, setelah melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, Callone menyimpulkan bahwa strategi seperti itu tidak mungkin dilakukan. Sebagai gantinya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek dia berharap dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja. Ia juga berharap kebijakan itu akan dapat mengembalikan kepercayaan terhadap keuangan Perancis, dan berharap pemerintah mendapatkan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali utang tersebut.
Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuan, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya. Mereka bersikeras hanya lembaga yang betul-betul representative, seperti  Estates-general (wakil-wakil berbagai golongan) kerajaan, yang berhak menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Ètienne Charles de Lomènie de Brienne, Uskup Agung Touluse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan.