Republik Jogja adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menyebut periode ketika kedudukan ibu kota Republik
Indonesia berada di Yogyakarta, yaitu antara tanggal 4 Januari 1946 sampai
tanggal 27 Desember 1949. Selain tiga tahun Keraton Yogyakarta dan Puro
Pakualaman bagaikan tulang punggung yang menopang jalannya pemerintahan dan
kelanjutan perjuangan RI.
Berpindahnya ibukota RI pada saat
itu dipicu situasi Jakarta yang tidak kondusif untuk menjadi pusat
pemerintahan. Saat itu, pasukan sekutu mulai mendarat, sedangkan tentara Jepang
belum pergi. Kekacauan ditambah dengan konflik politik yang terjadi antartokoh
dalam negeri sendiri. Sejumlah rencana pembunuhan mengancam para petinggi RI. Saratnya
konflik mengakibatkan macetnya roda pemerintahan.
Atas inisiatif dan tawaran Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, ibu kota RI berpindah ke Yogyakarta. Tawaran yang
dikirimkan lewat kurir pada 2 Januari 1946 itu disambut baik oleh pemerintah di
Jakarta. Pemindahan ibu kota ke Yogyakarta ini berhasil membuat roda pemerintahan
yang sebelumnya macet menjadi jalan kembali. Tawaran HB IX ini mencerminkan
keberanian dan jiwa patriotismenya. Saat itu hanya HB IX saja yang berani
menawarkan daerahnya menjadi pusat pemerintahan RI. Tidak ada daerah lain yang
berani seperti itu.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan
dengan menggunakan kereta api yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar
Biasa), karena jadwal perjalannya dilakukan di luar jadwal yang ada. Setibanya para
pemimpin di Yogyakarta saat itu telah terkoordinasi dan tertata rapi. Hal ini
belum tentu bisa dilakukan di daerah lain karena saat itu kondisi di daerah
lain belum sebaik dan seaman Yogyakarta.
Keratin Yogyakarta juga menanggung
biaya para pejabat RI selama berada di Yogyakarta. Keuangan RI dalam kondisi
sangat buruk. Untuk pembiayaan ini, jumlah yang dikeluarkan oleh Keraton
diperkirakan mencapaijutaan gulden. Hal ini juga diikuti rakyat Yogyakarta
dengan menyumbangkan tenaga, makanan dan harta benda.
Sumbangsih Keraton Yogyakarta
terhadap RI tidak hanya melalui peran aktif Sri Sultan Hamengku Buwono IX
sebagai Menteri Negara dan Menteri Pertahanan, namun juga bantuan materi secara
langsung dari Keraton dan Puro Pakualaman. Bantuan tersebut mulai dari
peralatan rumah tangga sampai gulden Belanda. Istana Kepresidenan (Gedung
Agung) setelah ditinggalkan Jepang tidak terdapat peralatan rumah tangga. Oleh karena
itu Keraton Yogyakarta memberikan berbagai peralatan secara lengkap. Tidak hanya
itu. Untuk melanjutkan perjuangan RI mengusir Belanda melalui perlawanan fifik,
Keraton yang masih memiliki logistik persenjataan cukup lengkap juga memberikan
setidaknya 1440 pucuk senjata api kepada pasukan RI. Selain senjata api,
Keraton Yogyakarta juga menyumbangkan senjata-senjata tajam seperti tombak.
Menurut laporan Menteri Peburuhan
dan Sosial Kabinet Hatta I, Rahendra Koesnan, tujuan Sultan HB IX memberikan
bantuan uang Belanda dalam jumlah sangat besar yang disimpan di Keraton kepada
pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah pusat adalah agar mereka jangan sampai
menyeberang kepada pihak Belanda karena tergiur uang Belanda.
Pembagian bantuan diberikan setiap
bulan sampai Yogyakarta kembali ke tangan RI. Tindakan tersebut adalah suatu
kebijaksanaan seorang negarawan besar. Sri Sultan HB IX menyimpan uang Belanda
tidak untuk kepentingan sendiri atau keluarganya tetapi untuk lepentingan
perjuangan kmerdekaan tanah air.
Pada tanggal 3 Maret 1946 Presiden
dan Wakil Presiden menghadiri pendirian yayasan Balai Perguruan Tinggi
Kebangsaan Gadjah Mada, yang mencakup dua fakultas: hokum dan sastra. Pada tanggal
7 Desember 1949, Balai Perguruan Tinggi tersebut diserahkan kepada pemerintah. Alibatnya
semua perguruan tinggi di Yogyakarta digabung menjadi satu universitas. Pada tanggal
19 Desember 1949 diresmikan berdirinya Universitas Gadjah Mada dengan rector Prof.
Dr. Sardjito. Semula mencakup enam fakultas: kedokteran, hokum, teknik, sastra
dan filsafat, pertanian dan kedolteran hewan. Sedangkan tempat kuliah berada di
Pagelaran dan Sitihinggil Keraton Yogyakarta yang dipinjamkan oleh Sri Sultan
HB IX.
Dinamika politik berlangsung di
Yogyakarta seiring dengan perpindahan ibu kota. Presiden Soekarno membentuk
Kabinet Sjahrir I (14 November 1945-12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II (12
?MAret-2 Oktober 1946), dan Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947). Pernyataan
gelagat bahwa Belanda tidak mau berunding dengan Soekarno adalah salah satu factor
yang mendorong Soekarno memilih Sutan Sjahrir untuk mendukung diplomasi. Sutan Sjahrir
yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung
tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Sebelum periode Republik Jogja,
perjuangan mempertahankan kemerdekaan juga berlangsung dengan gencar dan
efektif, baik dalam bentuk gerilya maupun perundingan. Pada periode ini pula
Yogyakarta dengan jiwa kemerdekaannya memegang peran penting dalam
mempertahankan kelangsungan RI. Dalam masa itu pula, terjadi beberapa peristiwa
penting yang diprakarsai dari tokoh-tokoh di Yogyakarta. Di antaranya,
pengakuan Kerajaan Belanda terhadap keberadaan RI dalam Konferensi Meha Bundar.
Sebelumnya, dunia internasional dikejutkan dengan Serangan Umum Satu Maret di
Yogyakarta.
Seperti diakui sendiri oleh
Presiden Soekarno dalam kesannya, keberhasilan Republik Jogja dalam mempertahankan
RI tak lepas dari jiwa kemerdekaan rakyat Yogyakarta. Kesan itu ditulis
Soekarno saat meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta tanggal 28 Desember 1949.
Terima Kasih kak Atas..Materi Sejarah nya.. ^_^
BalasHapustolong dicari lagi bukti penyerahan 1440 pucuk senjata oleh kesultanan Jojakarta, apakah benar dan terbukti fakta bahwa 1400an pucuk senjata api tsb milik kesultanan? cek dan ricek asal muasal senjata aoi tsb , krn jumlah senjata sebesar itu hanya dimiliki oleh pejuang2 surabaya hasil perampasan dan perebutan berdarah dg jepang pada masa pra dan pasca pertempuran 3/hari dan pertempuran 10 nov....tlng di cek lagi ya mbak...
BalasHapus