Dasar
hukum rezim pemerintah kolonial Belanda waktu itu membuang para pemberontak 1926
ke Digoel (rimba terpencil di Papua) dimana ada hak istimewa dari gubenur
jenderal yang namanya Exorbitante Rechten. Siapa saja yang ditunjuk oleh
gubernur jenderal sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, atau rust en orde, dari pemerintah Hindia
Belanda, tidak boleh tinggal di Hindia Belanda atau ditunjukkan tempat di mana
dia harus tinggal. Itu dasar hukumnya Digoel didirikan.
Sebelum
Pemberontakan 1926 sudah ada beberapa tokoh yang dibuang. Samin Sorontiko,
misalnya, dibuang ke Sumatera Barat tahun 1907. Lalu dr Tjipto, Douwes Dekker,
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dibuang ke Belanda tahun 1913. Haji Misbach
dibuang ke Manokwari tahun 1924, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia seperti Semaun,
Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain juga dibuang pada awal tahun 1920-an. Setelah
pemberontakan 1926 itu ada begitu banyak orang yang dibuang ke suatu tempat yang
sama. Dan ide membuang itu keluarnya begitu cepat. Pemberontakan terjadi 12
November, tanggal 18 November sidang pertama Dewan Hindia, tanggal 19 November sidang
kedua. Saat itu diputuskan untuk membuat kamp Digoel. Dengan begitu hanya seminggu
setelah pemberontakan sudah diputuskan untuk membuat kamp Digoel.
Ide
itu muncul dan dengan proses yang begitu cepat, patut untuk memperhetikan
beberapa hal penting. Pertama, idenya sudah ada sebelum pemberontakan. Ide ini
pertama kali diungkapkan Schrieke. Daialah yang megusulkan supaya ada tempat
khusus didirikan sebagai tempat pembuangan.
Karena orang-orang macam ini, terutama orang komunis waktu itu, mereka
kerjanya keluar masuk penjara. Kalau melanggar hukum mereka ditangkap lalu
dimasukkan ke dalam penjara selama satu atau satu setengah tahun, lalu
dimasukkan lagi ke penjara.
Menurut
Schrieke ini kasihan. Lebih baik ditunjukkan tempat di mana mereka bisa mendapat
kehidupan yang tentram, tidak diganggu oleh mimpi-mimpi untuk merdeka atau
untuk mendirikan masyarakat komunis. Jadi, ide itu sudah ada pada tahun 1925,
tapi tetap dipertahankan sebagai ide saja. Sekonyong-konyong, waktu
pemberontakan terjadi, ide itu dijalankan.
Dalam
konteks yang lebih besar, perlu diperhatikan satu fakta bahwa Belanda adalah
kekuatan kolonial yang minor. Bukan yang nomor satu, tetapi nomor tiga, setelah Inggris dan Perancis.
Koloni yang mereka punya dan berarti, adalah Hindia Belanda. Lain dari Inggris.
Karena Inggris punya koloni di Afrika, Australia, India, dan di banyak tempat
lagi. Kalau umpamanya ada orang di Birma yang jadi nakal dan harus dibuang,
mereka bisa ditempatkan umpamanya ke Sri Lanka atau ke Afrika. Tapi karena di
Hindia Belanda tidak ada tempat lain, kemana orang-orang macam ini bisa
dibuang. Jadi, pejabat tinggi Hindia Belanda pada tahun 1926 menyimpulkan bahwa
lebih baik mendirikan satu tempat di Hindia-Belanda, dimana lebih dari seribu
orang bisa dibuang.
Masyarakat
Belanda ketika itu begitu paranoid, begitu takut terhadap gerakan apapun di
bumiputera. Jadi pemerintah kolonial tidak perlu menjual ide itu atau ide
Digoel ini kepada masyarakat Hindia-Belanda maupun kepada masyarakat Belanda
sendiri. Orang kulit putih senang sekali kalau orang komunis, nasionalis, dan
lain-lain, semua dibuang atau dibunuh. Selain itu Gubernur Jenderal de Graff
waktu itu masih percaya dengan
kemumngkinan untuk membangun
Nuigini sebagai koloni yang baru. Karena waktu itu Nuigini atau Irian Barat
memang belum dibangun sama sekali. De graff percaya aka nada kesempatan untuk
mendirikan suatu koloni yang baru, yang makmur dan tentram untuk orang-orang
komunis, dan sekaligus juga akan menjadi koloni yang baik untuk Hindia Belanda.
Ada
begitu banyak pulau lain di Hindia Belanda, dan pada waktu itu begitu banyak
daerah yang belum dibuka untuk koloni baru. Ternyata Digoel yang dipilih. Yang paling
pentinh diperhatikan adalah tempat pembuangan itu harus terisolasi 100 persen. Dan
orang yang diutus mencari tempat pembuangan yang baru itu adalah Gubernur
Maluku. Karena Nuigini juga termasuk Provinsi Maluku, orang ini mngusulkan
Boven Digoel yang paling baik. Atas usulan dari Gubernur Maluku itu, Dewan
Hindia lalu menentukan Boven Digoel sebagai tempat pembuangan.
Ada
memang tempat-tempat lain. Tapi menurut Gubernur Provinsi Maluku, Boven Digoel
itu ideal sebagai tempat pembuangan karena 100 persen terisolasi. Jaraknya dari
muara Sungai Digoel itu 455 kilometer ke arah hulu, ke pedalaman. Itu sama
dengan jarak Jakarta ke Semarang atau dari Amsterdam ke Paris. Tapi semuanya
hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria dan di sungainya banyak
buaya. Banyak penduduk aslinya yang masih head hunter, atau masih kanibal,
masih suka makan orang.
Pemberontakan
mulai tanggal 12 November 1926 di Banten dan kemudian bulan Januari 1927 di Sumatera
Barat. Secara militer pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Kemudian 13 ribu
orang ditangkap dan 4.500 yang dipenjara setelah diadili. Pemerintah kolonial
dalam memilih siapa yang mesti dibuang dan siapa yang tidak dibuang, ini
sepenuhnya diserahkan kepada residen dan kepada kepala polisi, terutama polisi rahasia, PID,
setempat. Ini tergantung pada residen yang mengusulkan siapa yang harus
dibuang. Kalau orangnya sudah diusulkan oleh residen, usulannya hampir 100
persen disahkan oleh gubernur jenderal.
Kalau
dibandingkan dengan prosedur pembuangan sebelum ini, pembuangan sesudah
pemberontakan menjadi sangat rutin. Waktu dr Tjipto Mangunkusumo dibuang pada
awal 1920-an, dia tidak boleh tinggal di daerah yang berbahasa Jawa. Jadi dia
terpaksa tinggal di Bandung. Untuk itu prosedurnya cukup panjang. Mula-mula dia harus menjawab banyak
pertanyaan. Dan semua pertanyaan harus dijawab oleh Tjipto itu disusun oleh
kepala polisi rahasia. Kemudian residen mengajukan pertanyaan-petanyaan itu
kepada Tjipto. Sesudah itu Dewan Hindia kumpul untuk membicarakan masalah
pembuangan Tjipto. Tapi prosedur semacam ini sama sekali tidak diambil sesudah
pemberontakan. Pokoknya kalau orangnya sudah diusulkan residen supaya dibuang,
maka seterusnya dia pun dibuang. Dan pertanyaan itu semuanya sama, tidak
disesuaikan dengan kasus perseorangan.
Jadi
yang sangat menetukan adalah residen dan polisi rahasia. Karena di setiap
keresidenan ada PID. Kepalanya biasanya polisi profesional yang menjadi
pembantu residen setempat.
Setelah
diputuskan, setelah orang yang akan dibuang sudah ada daftranya, maka kemudian
harus dibangun kamp. Yang diperintah untuk itu Kapten Becking, orang KNIL. Dia yang
meminpin pasukan menumpas pemberontakan di Banten. Kurang jelas kenapa dia yang
dijadikan komandan untuk membangun Boven Digoel. Barangkali dia dipandang
sebagai orang yang mengerti pribumi, yang bisa mengambil hati orang pribumi. Itu
salah satu alasannya. Dan ternyata memang, dia rupanya cukup disukai. Bukan saja
disukai oleh para serdadu Ambon, tapi juga oleh sebagian orang yang dibuang itu
sendiri.
Tahanan
pertama datang bulan Maret 1927. Semula tempat kediaman mereka disusun
berdasarkan suku. Tapi, ini bukan atas perintah dari pemerintah kolonial, tapi
secara alamiah. Dan itu bukan keputusan pemerintah. Kalau sudah dimasukkan ke
dalam kamp semua orang cukup bebas memilih dimana mereka tinggal. Sejak tahun
1927 pimpinan kamp mengeluarkan peraturan apakah mau atau tidak mau bekerja
sama dengan pemerintah. Kalau mau bekerja sama mereka mendapat bayaran selain
72 sen per hari ditambah dengan 40 sen. Yang tidak mau bekerja sama hanya dapat
bayaran 72 sen per hari. Ini artinya, para tahanan politik itu dibayar sedikit,
diberi makan dan juga logistik. Karena idenya mereka bukan orang criminal,
bukan penjahat. Mereka oleh rezim pemerintah kolonial dipandang sebagai orang
yang mengancam keamanan dan ketertiban, rust en orde. Jadi begitu dibuang dan
sudah dimasukkan ke dalam kamp mereka menjadi orang bebas lagi. Dan sebagai
orang bebas, kalau kerja harus dibayar. Itu idenya. Tapi kalau tidak mau kerja
tentu mereka tidak dibayar.
Dengan
adanya pilihan mau bekerja atau tidak mau bekerja ini, menimbulkan perpecahan
di kalangan tahanan politik. Pada tahun-tahun pertama ini para tahanan politik
berusaha berorganisasi dengan membentuk dewan di setiap kampung, lalu ada Dewan
Pusat atau Central Raad Digoel. Di sini ada dua kelompok. Kelompok yang pertama
tidak mau bekerja untuk pemerintah. Hal ini sudah merupakan salah satu bentuk
perlawanan terhadap pemerintah. Tapi lalu ada dua kelompok, satu kelompok
mereka yang tidak mau bekerja tapi dia itu juga tidak berbuat apa-apa untuk
melawan pemerintah, artinya tidak mau bekerja sama sekali.
Di situ
ada kelompok yang self employed, kerja
sendiri, bukan kerja untuk pemrintah. Mereka mau bekerja umpamanya jadi tukang cukur,
atau tukang cucui pakaian untuk sesama teman yang dibuang. Mereka mendapat uang
dari sesama orang yang dibuang. Satu kelompok lagi yang bukan saja tidak mau
bekerja untuk pemerintah tapi mencoba menyusun perlawanan dalam bentuk yang
lain. Kelompok terakhir ini yang mendirikan organisasi untuk pemerintahan sendiri
dan mereka tentu dipandang oleh pejabat kolonial di Boven Digoel sebagai musuh.