Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah
terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial
dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh
sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu
Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam.
Seperti halnya kondisi masyarakat daerah
pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah lainnya.
Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini
digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir terkena
percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara
tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka
menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang
dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.
Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih
tertutup (konservatif) dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada
kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya
Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih
sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis,
diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu
terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari
India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya.
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu.
Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek
moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.
Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara
daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah
diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. Pertama, situasi
politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami
kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara,
termasuk Nusantara.
2.2
Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam
kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan
India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig,
wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan
Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras,
yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran
pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Perdagangan
Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam
paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu
dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan
Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan para adipati
wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian
dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai
dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap (baik
sementara waktu ataupun seterusnya) mereka membangun pemukiman yang disebut
Pekojan. Banyak di antara para saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati
kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka.
Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak
sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk
Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat,
tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin
menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya
pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap),
membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu
mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa
Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti
Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan,
Jailolo, Hitu, ataupun Deli.
Perkawinan
Seperti telah dipaparkan sebelumnya,
perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati.
Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat
pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang
Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja,
atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan
politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke
jantung kekuasaan politik lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras
pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan
penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan
para sultan atau para adipatinya.
Tasawuf
Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang
banyak menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak
mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat banjir penganut Islam baru.
Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India
ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf
Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk
juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini.
Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan
dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çina, dan Buddha. Akibatnya, Islam
tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.
Pendidikan
Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal
sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera
Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di
kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala
tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini
pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama.
Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk
menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat
(Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren
yang didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan
penduduk Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau,
para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi
khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.
Seni
Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran
signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam
terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat
seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk
para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah
baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan
dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain
yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.
Egalitarianisme
Egalitarianisme akhirnya menempati posisi
kunci. Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial
berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit
banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini, oleh sebab
mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu,
Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami,
orang-orang Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon
baik agama baru ini.
2.3
Akulturasi Budaya Indonesia dengan Budaya Islam
Sebelum Islam masuk dan
berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh
agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami
proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena
percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan
baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak
berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari
proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga
menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Untuk lebih memahami wujud budaya yang sudah mengalami proses
akulturasi dapat Anda simak dalam uraian materi berikut ini.
1)
Akulturasi
Bentuk Fisik
a) Seni Bangunan
·
Mesjid
Bentuk Bangunan. Kebanyakan mesjid di
Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti pendopo yang berbentuk bujur
sangkar. Selain itu atap mesjid berbentuk tumpang. Ini merupakan perpaduan
dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura. Atap ini sangat
berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan tetapi
dalam Islam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting
dapat dijadikan sebagai tempat sholat. Atap ini juga selalu ganjil, yaitu 3
atau 5.
Menara. Menara berfungsi sebagai
tempat untuk menyerukan azan. Menara merupakan salah satu kelengkapan masjid.
Akan tetapi di Indonesia hanya masjid Kudus dan banten saja yang memiliki
menara. Menara msjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti candi
sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa.
Letak Mesjid. Selain bentuk masjid dan
menara, letak masjid juga memiliki keunikan. Penempatan masjid di Indonesia
terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata letak macapat, yaitu masjid
diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana (keraton) yang
merupakan simbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan
majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid
diletakkan dekat dengan makam. Letak yang seperti ini terutama untuk makam
raja-raja. Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati
(Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya.
·
Makam
Yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam
terlihat dari:
1.
Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang
keramat.
2.
Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau
Kijing, nisannya juga terbuat dari batu.
3.
Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut
dengan cungkup atau kubba.
4.
Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara
makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada
yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi
bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
5.
Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam
dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
·
Istana
Bangunan istana arsitektur
yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur
akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya
contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga
Dwarapala (Hindu).
2)
Akulturasi Bentuk Kesenian
a) Seni Ukir
Dalam agama Islam ada larangan untuk melukiskan makhluk hidup
terutama manusia. Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman
purba, akan tetapi masuk zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi.
Maka dari itu, pada zaman ini kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir
saja. Seni ukir pun sudah disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup.
Banyak pola-pola yang diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan,
bunga-bungaan, bukit karang, pemandangan dan garis-garis geometri. Huruf-huruf
Arab juga ikut meramaikan tradisi ukir yang masuk ke dalam pola. Pola-pola ini
sering sekali digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran
biasannya menghiasi makam-makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di
mimbarnya saja. Ukir-ukiran di makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan
cungkup. Di Indonesia ada masjid yang memiliki ukiran samar dari zaman madya,
yaitu masjid mantingan di Jepara.
b) Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni
ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan
namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar
didapat keserasian.
c) Debus
Kesenian Debus erat
kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus merupakan kesenian
bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata gedebus
(almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang
menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini
dimulai dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan
benda tajam ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari
Debus ini berkembang di Banten, Minangkabau dan Aceh.
d) Tari Seudati
Tari Seudati merupakan
jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari Saman.
Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar.
Disebut sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh
delapan orang. Dalam tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang
berupa sholawat.
e) Gamelan/ Wayang
Wayang dan alat musiknya
sering disebut sebagai gamelan. Wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia.
Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah musnah begitu saja,
justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah dan dimainkan
menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan penyebarannya
cerita-cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada merupakan
sesuatu yang telah mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai penyebar agama
di Jawa juga menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam.
3)
Akulturasi Bentuk Kesusasteraan
Kesusasteraan zaman madya
berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi perkembangnya tidak sebesar
kesusasteraan zaman purba (Hindu-Budha). Hal ini dikarenakan tidak ada tempat
khusus untuk melestarikannya seperti kesusasteraan purba yang masih tersimpan
rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada saat ini sebagaian besar
merupakan hasil gubahan baru. Hal ini menyebabkan kesusasteraan zaman madya
sulit diturutkan kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-bagi
menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian tersebut tidak dapat
dilakukan secara tegas krena suatu naskah dapat masuk dalam 2 golongan.
Kesusasteraan zaman madya
tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan dari kesusasteraan zaman
purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di Jawa. Banyak
gubahan-gubahan sastra purba berkembang di zaman madya. Gubahan-gubahan sastra
ini biasanya ditulis dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yang ditulis
dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang ditulis dalam tembang
disebut syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak yang ditulis dengan
menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada
juga yang menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan soal-soal
keagamaan.
Kesusasteraan zaman madya
berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi :
a)
Hikayat
Hikayat merupakan cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan
keajaiban dan keanehan. Tidak jarang pula hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh
sejarah dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi.
Contoh : hikayat Raja-Raja pasai, Hikayat Salasih, Hikayat Perak,
Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah.
b) Babad
Babad merupakan dongeng
yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad tokoh, tempat dan peristiwa
hampir semuanya ada dalam sejarah, tetapi penggambarannya dilakukan secara
berlebihan.
Contoh : babad Tanah Jawi,
babad Cirebon, Babad Giyanti, Babad Pakepung.
c)
Suluk
Suluk merupakan kitab-kitab
yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat menarik karena sifatnya
pantheisme, yang menjelaskan tentang bersatu.nya manusia dengan Tuhan
(Manunggaling Kawulo lan Gusti). Beberapa pujangga yang menulis suluk
diantaranya adalah Ronggoearsito, Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dan Syaekh
Yusuf.
d) Kitab primbon
Kitab primbon memiliki kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan
tentang kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan buruk, dan
pemberian makna pada suatu kejadian.
Contoh : Kitab primbon Bataljemur Adammakna, kitab primbon Lukman
Hakim.
4)
Akulturasi Bentuk Aksara dan Bahasa
a) Aksara
Dengan masuknya Islam, dalam bidang aksara juga ikut terpengaruhi.
Huruf yang berkembang adalah huruf Hijriah (aksara Arab). Di Indonesia huruf
Arab tersebut diolah menjadi lebih sederhana menjadi huruf Arab yang dipakai di
daerah-daerah dengan percampuran menggunakan bahasa daerah setempat. Bunyi dari
tulisan menggunakan bahasa setempat (Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa), tetapi
akasaranya mengunakan aksara Arab. Secara keseluruhan tulisan yang demikian
disebut dengan Arab Gundul atau Arab Gondil. Sedangkan di Jawa dan Sunda
disebut Arab Pegon. Sampai saat ini huruf Arab Pegon masih digunakan oleh
sebagain masyarakat di Indonesia. Masyarakat penggunanya terutama berasal dari
daerah pesisir dan kalangan pesantren-pesantren tradisional. Penggunaan huruf
atau bahasa Pegon itu misalnya saja dalam kitab-kitab keagamaan dan mantra-mantra.
b) Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di
sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan
penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang
banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal
Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur
bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan
adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa
ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.
5) Akulturasi
Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk
ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender
Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama
pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya
Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan
perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan
Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan
Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan
hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka
juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555
Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
6) Akulturasi
Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan juga
terdapat akulturasi antara kebudayaaan Islam dan kebudayaan pra Islam. Bentuk
akulturasi tersebut terlihat dalam penyebutan nama raja dan sistem pengangkatan
raja.
a) Penyebutan nama raja
Masuknya Islam menimbulkan
perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suatu negeri pada masa pra Islam
disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil sultan,
sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan dengan
nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jawa masih digunakan nama Jawa. Selain itu
muncul suatu tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara
berturut-turut. Untuk membedakan antara raja maka dibelakang nama ditambah
dengan angka urutan, misalnya Hamengku Buwono I,II,III dst.
b) Sistem pengangkatan raja
Walaupun Islam telah masuk,
akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama tidak ditinggalkan.
Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh pengangkatan
raja diatur dalam permufakatan dengan hukum adat. Tata caranya adalah berdiri
di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di
sebelah kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa pedang berdiri di
sebelah kiri. Hal ini hampir sama dengan di Jawa, sistem pengangkatan raja
berdasarkan permufakatan yang tidak melepaskan peranan wali, hanya saja tidak
menggunakan rangkaian acara seperti berdiri di atas tabal.
c) Kedudukan Raja
Pada masa Hindu Budha raja
merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga melekatlah kata-kata “kultus
dewa raja”. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan
ajaran Islam menolak bahwa manusia sama dengan Tuhan. Ajaran Islam menempatakan
raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung zaman Hindu Budha,
melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia). Penghapusan kultus dewa
raja tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja mutlak terhadap
atas seluruh rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat dan dapat
menghubungkan dengan alam gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan mendapat
tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang. Seorang raja harus
memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di Jawa disebut dengan pulung
atau wahyu (cahaya nurbuat). Karena raja menduduki posisi sentral maka seluruh
aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.
2.4 Contoh
Lain Budaya Indonesia Yang Menganut Nilai-nilai Islam
Tepung tawar, biasa
dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari.
Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak kesialan. Biasanya dilakukan
terhadap orang yang sakit agar spiritualnya (roh) kembali ke jasadnya. Yaitu
dengan memasak ayam kemudian diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang
yang akan diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya
ialah mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Sungkeman. Kebiasaan
ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada
upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu.
Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang yang dianggap sepuh
(Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud dan rukuk kepada
selain Allah, yang tentunya dilarang dalam Islam.
Tabot atau Tabuik, adalah
upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan
kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam
peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada
tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M). Perayaan di Bengkulu pertama kali
dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada
tahun 1685. Syaih Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu
kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga
Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar
islam) setiap tahun. Pada awalnya, inti upacara Tabot ialah untuk
mengenang upaya pemimpin Syi'ah dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein,
mengarak dan memakamkannya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata
Arab, “tabut”, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau
peti. Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai
dikenal di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara
berkabung para penganut paham Syi'ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun
Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut,
didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan
merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan
yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang
diselenggarakan antara lain:
1. Tingkepan,
yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2. Babaran,
yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3. Sepasaran,
yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4. Pitonan,
yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5. Sunatan
yaitu acara khinatan.
Masyarakat di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan
monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake
(menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan
peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau
kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga
melakukan acara kirim donga (kirim doa) pada hari ke-1, ke-3 (telung dino),
ke-7 (pitung dino), ke-40 (patang puluh dino), ke-100 (satus dino), 1 tahun
(pendak pisan), 2 tahun (pendak pindo) dan 3 tahun atau 1000 hari setelah
kematian (nyewu).
Budaya Tumpeng. Tumpeng
adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah
sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Olahan nasi yang dipakai, umumnya berupa nasi
kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara
penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan
biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting.
Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun
pisang.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut
secara awam sebagai “tumpengan”. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi
“tumpengan” pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang
menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang
profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.